Rabu, 21 Desember 2011

wacana pemanfaatan bahasa Indonesia pada tataran ilmiah, semi ilmiah, dan non ilmiah

Bahasa Indonesia dalam Tataran Ilmiah
tulisan yang berisi argumentasi penalaran keilmuan, dan komunikasi lewat tulisan yang menyangkut metode dan penggunaan bahasa. Contoh makalah, skripsi, tesis, disertasi.
contoh :
menyusun sebuah kamus yang benar-benar lengkap sehingga dapat disebut sebagai kamus lengkap memang sangat berat. selain dibutuhkan pikiran, tenaga, waktu, serta biaya yang hampir-hampir tidak dapat dibatasi, ada hal lain yang menjadi syarat kelengkapan itu.
Wacana semi ilmiah :
     Wacana pada Tataran Semi Ilmiah merupakan wacana yang karakteristiknya berada di antara ilmiah dan non ilmiah.
Jenis-Jenis Wacana Semi Ilmiah : Artikel,Editorial,Opini,Feuture,Reportase.
Contohnya :
MANIS BAGI PEJABAT
RACUN UNTUK RAKYAT
PEMERINTAH pusat mulai membagi-bagikan permen yang mengandung racun. Inilah permen manis bagi pejabat yang menerima, tetapi racun karena mematikan daerah. Permen yang mengandung racun itu adalah Peraturan Pemerintah Nomomr 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan Anggota Dewan. Isinya mengatur pendapatan pimpinan anggota DPRD, yang terdiri atas uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komunikasi, dan tunjangan panitia anggaran. Jika setiap anggota DPRD mendapat Rp 80 juta daerah harus mengeluarkan Rp 1,2 triliun. Sungguh uang yang luar biasa manis, sekaligus inilah racun yang paling mematikan daerah. Kenapa? Karena, biaya untuk gaji anggota DPRD itu lebih besar daripada pendapatan asli daerah. Betapa ironis, pendapatan asli daerah minus setelah membayar gaji DPRD.
Yang jelas, peraturan pemerintah itu semakin memperbesar jurang kaya dan miskin. Di tengah meningkatnya pengangguran, di tengah bertambahnya penduduk miskin yang mencapai 100 juta orang, ada segelintir elite anggota DPRD yang jumlahnya 15 ribu orang yang semakin kayak arena peraturan pemerintah itu.
Masih ada dampak negative lain, yaitu semakin maraknya pungutan daerah untuk menambah kas daerah. Berbagai pungutan itu diperlukan untuk menutupi deficit pendapatan asli daerah akibat membayar gaji anggota DPRD. Sudah pasti, peraturan pemerintah itu menambah bengkaknya anggaran negara yang digunakan untuk keperluan konsumtif. Padahal, tanpa adanya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 itu pun, proporsi pengeluaran rutin untuk keperluan konsumtif sudah lebih besar. Adalah menyedihkan bahwa yang bertambah bukan untuk keperluan pembangunan yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 itu, bertambah kuat tanda-tanda negara ini agaknya sedang disetir menjadi surga hanya bagi kaum elite, yaitu elite legislative yang bernama wakil rakyat di daerah maupun di pusat. Soal waktu saja, keluar pula peraturan pemerintah yang pada gilirannya akan menyenangkan elite yang duduk di jajaran eksekutif dan yudikatif. Maka, sempurnalah negara ini menjadi negara yang manis bagi pejabat, tetapi racun bagi rakyat (Media Indonesia, 2007:1).
Selain itu, boleh percaya boleh tidak, anggota DPRD masih mendapat tunjangan kesejahteraan berupa pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan, pakaian dinas, serta biaya akibat perjalanan dinas. Akibatnya, sebagai gambaran, pendapatan yang diterima ketua DPRD provinsi mencapai Rp 36,269 juta, jauh melebihi pendapatan yang diterima Ketua Mahkamah Agung (Rp 24,390 juta) dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Rp 23,940 juta). Jaraknya semakin jauh bagaikan langit dan bumi, bila dibandingkan dengan pendapatan gubernur (Rp 8,4 juta), terlebih dibanding bupati (Rp 5,8 juta).
Permen itu semakin manis karena sekalipun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 itu baru ditandatangani Presiden November lalu, tetapi dibuat berlaku mundur sejak 1 Januari 2006.

Bahasa Indonesia dalam tataran non ilmiah
tulisan Bahasa Indonesia yang penulisannya tidak terikat pada ragam bahasa baku. Contoh dari penulisan non ilmiah adalah : editorial
contoh editorial :
Bangsa ini benar-benar “bangsa tempe”. persoalan perut pun selalu menjadi masalah setiap saat. setelah didera urusan kenaikan harga beras,kali ini naiknya harga kedelai membuat khalayak kelimpungan. ini bukti bahwa kita belum bisa mengurus sektor pertanian dengan baik.
Harga kedelai melambung hingga dua kali lipat. kedelai yang biasanya dijual Rp 3.000 per kilogram melonjak menjadi Rp 6.000 per kg, bahkan ditempat-tempat tertentu menjadi Rp 8.000 per kg. Ribuan pengusaha kecil membuat tahu dan tempe menjerit. Rakyat juga berteriak karena semakin sulit mendapatkan pemasok protein yang murah.
Gonjang-ganjing itu dipicu oleh melmbungnya harga kedelai dipasar internasional. Produksi kedelai dunia memang melemah. Indonesia yang hampir separuh kebutuhan kedelainya dipenuhi lewat impor langsung terpukul. Menurut Badan Pusat Statistik, kebutuhan kedelai nasional mencapai 1,3 juta ton setahun. pada hal negeri ini, tahun ini cuma bisa memproduksi 620ribu ton, sisanya impor.
Pemerintah memang sudah berusaha mengatasi gejolak harga ini dengan menghapuskan bea masuk kedelai,dari semula 10 persen menjadi nol persen. sebuah langkah bagus yang patut dipuji.
Hnya, langkah itu terapi sementara. Pasar kedelai impor yang dikuasai empat importirbesar, yakni Cargill, Teluk Intan, Liong Seng, dan Gunung Seru tak akan serta-merta menurunkan harga. Pemerintah seharusnya meminta bulig ikut terjun mengimpor kedelai untuk sementara. tanpa kehadiran Bulog atau perusahaan lain, empat importir tersebut akan leluasa mengatur harga.
Adapun untuk solusi jangka panjang, pemerintah mau tak mau harus menggenjot produksi kedelai dalam negri. Petani selama ini ogah menanam kedelai karna margin keuntungannya kelewat kecil. menurut perhitungan Diretur Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, karena rendahnya hasil panen kedelai, petani cuma bisa mendapat untung Rp 1 juta per hektar selama satu musim tanam atau sekitar tiga bualn.
Bandingkan dengan laba bila menanam jagung, yang mencapai Rp5-6 juta per hektar untuk jangka yang sama. jangan heran bila tahun ini produksi kedelai lebih rendah 127 ribu ton per tahun dibanding produksi tahun lalu, yang mencapai 747 ribu ton.
Harus ada kemauan kuat dari pemerintah untuk mengatasi hal ini,misalnya mengatrol jumlah produksi lewat penyebaran benih unggul yang merata keseluruh daerah. selama ini produksi kedelai hanya disokong oleh sebagian kecil provinsi, salah satunya Jawa Timur, yang memasok 440 ribu ton kedelai per tahun.
Pada saat yang sama, pemerintah harus memperbaiki tata niaga kedelai karna petani kedelai selama ini mendapatkan margin keuntungan paling kecil.Mereka cuma bisa menjual Rp 3.000 per kg. Padahal, menurut hitungan Departemen Pertanian, idealnya petani bisa memasang harga Rp 4.500 per kg.
Negeri ini punya tanah subur dan sumber air yang melimpah. sudah selayaknya Indonesia sebagai negara agraris memperkuat kembali sektor pertanian. mari kita buktikan, walau menyukai tempe, bangsa ini bukan “bangsa tempe”.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar