Sabtu, 20 Oktober 2012

kode etik akuntan


a.      Kode Etik Akuntan adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari dalam profesi akuntansi. Kode etik akuntansi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negatif dari profesi akuntansi, sehingga kode etik bagai kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi akuntansi dimata masyarakat.

b.      Kredibilitas:  nilai kerja suatu perusahaan atau seseorang yang mampu menunjukkan suatu kinerja yang sangat baik bagi perusahaan sehingga mendatangkan kebaikan bagi si perusahaan tersebut.

Profesionalisme: mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti: bersifat profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan, beroleh bayaran karena keahliannya itu.

Skeptisme: aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Integritas: suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik danmerupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yangdiambilnya.

c.       blibery merupakan suatu tindakan yang tidak etis
contoh kasus :
aMajalah Trust/Fokus/1/2002
Selasa, 09 November 2004

Tarif Jaksa Kejati DKI US$ 100 ribu! – ‘Nyanyian’ para Terdakwa Kasus BNI
FAKTA yang terkuak di balik skandal BNI senilai Rp 1,3 triliun terus saja mengalir. Para terdakwa yang kini sedang dalam proses pengadilan ‘bernyanyi’ tentang persekongkolan antara polisi dan jaksa dengan para terdakwa.

Semula nyanyian tak sedap menimpa kalangan polisi dalam hubungan dengan Adrian Herling Waworuntu. Terdakwa yang sempat melarikan diri ke luar negeri itu disebut-sebut memberi sejumlah uang kepada polisi untuk kepentingannya. Tentu saja, tidak ada polisi yang mengaku. Adrian pun membantah telah menyogok.
Lalu nyanyian fals sekarang terlontar dari kalangan terdakwa ke alamat kejaksaan. Menurut pengakuan seorang terdakwa, Harris Is Artono, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Marwan Effendi, memasang tarif US$100 ribu untuk bisa mengatur berkas perkara para terdakwa.

Sebagaimana nyanyian miring kepada polisi, nyanyian tak sedap ke alamat aparat kejaksaan juga dibantah para jaksa yang disebut. Dalam negara yang katanya sangat menjunjung supremasi hukum, seseorang tidak boleh dikatakan bersalah sebelum pengadilan mengetuk palu. Palu pengadilan adalah kata akhir tentang kebenaran dan kesalahan.

Apa yang menarik dari nyanyian para terdakwa itu? Yang menarik adalah kebenaran yang dipersengketakan antara fakta dan bukti hukum. Dan sengketa itulah yang selama ini menyelimuti kesuburan pelanggaran hukum di negeri ini.

Di depan mata kita menyaksikan dengan telanjang percaloan perkara. Ada orang tertentu yang menelepon dan menghubungi terdakwa. Mereka mengaku sebagai kaki tangan polisi dan jaksa untuk mengatur perkara. Ada perundingan, ada tawar-menawar dan tentu saja ada pembayaran.

Tetapi, fakta-fakta ini menjadi tidak bermanfaat sama sekali di depan pengadilan karena tidak menjadi fakta hukum. Fakta hukum membutuhkan saksi dan bukti pembayaran dan perundingan seperti kuitansi atau rekaman pembicaraan.

Mafia peradilan di negeri ini tidak akan bisa diberantas selama fakta tidak diakui sebagai bukti. Padahal, fakta yang selalu dikalahkan itu adalah bagian terpenting dari praktik mafia peradilan.
Di negara dengan tingkat korupsi yang demikian tinggi seperti Indonesia, dengan tingkat kecanggihan menghindari bukti yang demikian licin, keraguan terhadap fakta seharusnya bisa dipakai sebagai kebenaran. Artinya, pengakuan seorang terdakwa bisa dipakai sebagai alat bukti.

Tentu saja keinginan ini hanya bisa dilaksanakan kalau kita berani memakai asas pembuktian terbalik. Bukan saksi dan jaksa yang harus membuktikan seorang terdakwa bersalah, tetapi si terdakwa yang harus membuktikan bahwa tuduhan terhadapnya tidak berdasar. Dan, untuk memuluskan pembuktian terbalik harus ada undang-undang perlindungan saksi. Jangan sampai–dan ini sudah sering terjadi–seseorang yang melapor tentang penyelewengan orang lain malah dijadikan tersangka dan dijebloskan ke dalam penjara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar