a.
Kode Etik Akuntan adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan
tugas dan dalam kehidupan sehari-hari dalam profesi akuntansi. Kode etik
akuntansi dapat menjadi penyeimbang segi-segi negatif dari profesi akuntansi,
sehingga kode etik bagai kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi
dan sekaligus menjamin mutu moral profesi akuntansi dimata masyarakat.
b. Kredibilitas:
nilai kerja
suatu perusahaan atau seseorang yang mampu menunjukkan suatu kinerja yang
sangat baik bagi perusahaan sehingga mendatangkan kebaikan bagi si perusahaan
tersebut.
Profesionalisme:
mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri
orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti: bersifat
profesi, memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan,
beroleh bayaran karena keahliannya itu.
Skeptisme:
aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan,
mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme
terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Jadi
secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang
tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Integritas: suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan
kualitas yang melandasi kepercayaan publik danmerupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji
semua keputusan yangdiambilnya.
c.
blibery
merupakan suatu tindakan yang tidak etis
contoh kasus :
contoh kasus :
aMajalah Trust/Fokus/1/2002
Selasa, 09 November
2004
Tarif Jaksa Kejati DKI
US$ 100 ribu! – ‘Nyanyian’ para Terdakwa Kasus BNI
FAKTA yang terkuak
di balik skandal BNI senilai Rp 1,3 triliun terus saja mengalir. Para terdakwa
yang kini sedang dalam proses pengadilan ‘bernyanyi’ tentang persekongkolan
antara polisi dan jaksa dengan para terdakwa.
Semula nyanyian tak
sedap menimpa kalangan polisi dalam hubungan dengan Adrian Herling Waworuntu.
Terdakwa yang sempat melarikan diri ke luar negeri itu disebut-sebut memberi
sejumlah uang kepada polisi untuk kepentingannya. Tentu saja, tidak ada polisi
yang mengaku. Adrian pun membantah telah menyogok.
Lalu nyanyian fals
sekarang terlontar dari kalangan terdakwa ke alamat kejaksaan. Menurut
pengakuan seorang terdakwa, Harris Is Artono, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta, Marwan Effendi, memasang tarif US$100 ribu untuk bisa mengatur
berkas perkara para terdakwa.
Sebagaimana
nyanyian miring kepada polisi, nyanyian tak sedap ke alamat aparat kejaksaan
juga dibantah para jaksa yang disebut. Dalam negara yang katanya sangat
menjunjung supremasi hukum, seseorang tidak boleh dikatakan bersalah sebelum
pengadilan mengetuk palu. Palu pengadilan adalah kata akhir tentang kebenaran
dan kesalahan.
Apa yang menarik
dari nyanyian para terdakwa itu? Yang menarik adalah kebenaran yang
dipersengketakan antara fakta dan bukti hukum. Dan sengketa itulah yang selama
ini menyelimuti kesuburan pelanggaran hukum di negeri ini.
Di depan mata kita
menyaksikan dengan telanjang percaloan perkara. Ada orang tertentu yang
menelepon dan menghubungi terdakwa. Mereka mengaku sebagai kaki tangan polisi
dan jaksa untuk mengatur perkara. Ada perundingan, ada tawar-menawar dan tentu
saja ada pembayaran.
Tetapi, fakta-fakta
ini menjadi tidak bermanfaat sama sekali di depan pengadilan karena tidak
menjadi fakta hukum. Fakta hukum membutuhkan saksi dan bukti pembayaran dan
perundingan seperti kuitansi atau rekaman pembicaraan.
Mafia peradilan di
negeri ini tidak akan bisa diberantas selama fakta tidak diakui sebagai bukti.
Padahal, fakta yang selalu dikalahkan itu adalah bagian terpenting dari praktik
mafia peradilan.
Di negara dengan
tingkat korupsi yang demikian tinggi seperti Indonesia, dengan tingkat
kecanggihan menghindari bukti yang demikian licin, keraguan terhadap fakta
seharusnya bisa dipakai sebagai kebenaran. Artinya, pengakuan seorang terdakwa
bisa dipakai sebagai alat bukti.
Tentu saja
keinginan ini hanya bisa dilaksanakan kalau kita berani memakai asas pembuktian
terbalik. Bukan saksi dan jaksa yang harus membuktikan seorang terdakwa
bersalah, tetapi si terdakwa yang harus membuktikan bahwa tuduhan terhadapnya
tidak berdasar. Dan, untuk memuluskan pembuktian terbalik harus ada
undang-undang perlindungan saksi. Jangan sampai–dan ini sudah sering
terjadi–seseorang yang melapor tentang penyelewengan orang lain malah dijadikan
tersangka dan dijebloskan ke dalam penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar